Malabbiri memang tongngi
Tulolona SulawesiMabbaji ampe mabbaji ampe Alusu' ri pangadakang Tulolona Sulawesi.. Tulolona Sulawesi.. Malabbiri memang tongngi Tulolona sulawesi Mabbaju bodo mabbaju bodo Nakingking lipa' sabbena..[Lagu daerah Sulawesi Selatan : Tulolona Sulawesi]Sepenggal lirik lagu yang menggambarkan seorang dara mengenakan baju bodo dan lipa' sabbe.Baju bodo adalah baju adat Bugis-Makassar yang dikenakan oleh perempuan. Sedangkan Lipa' sabbe adalah sarung sutra, biasanya bercorak kotak dan dipakai sebagai bawahan baju bodo. Konon dahulu kala, ada peraturan mengenai pemakaian baju bodo. Masing-masing warna manunjukkan tingkat usia perempuan yang mengenakannya.1. Warna jingga, dipakai oleh perempuan umur 10 tahun.2. Warna jingga dan merah darah digunakan oleh perempuan umur 10-14 tahun.3. Warna merah darah untuk 17-25 tahun. 4. Warna putih digunakan oleh para inang dan dukun.5. Warna hijau diperuntukkan bagi puteri bangsawan 6. Warna ungu dipakai oleh para janda.Selain peraturan pemakaian baju bodo itu, dahulu juga masih sering didapati perempuan Bugis-Makassar yang mengenakan Baju Bodo sebagai pakaian pesta, misalnya pada pesta pernikahan. Akan tetapi saat ini, baju adat ini sudah semakin terkikis oleh perubahan zaman. Baju bodo kini terpinggirkan, digantikan oleh kebaya modern, gaun malam yang katanya modis, atau busana-busana yang lebih simpel dan mengikuti trend.Walau dengan keterpinggirannya, Baju bodo kini tetap dikenakan oleh mempelai perempuan dalam resepsi pernikahan ataupun akad nikah. Begitu pula untuk passappi'-nya (Pendamping mempelai, biasanya anak-anak). Juga digunakan oleh pagar ayu. (dari berbagai sumber)Keterangan foto:Lokasi: SD Unggulan Monginsidi II, Jl. Monginsidi, Makassar.
Baju Bodo, busana dengan
potongan simetris sederhana, dengan efek menggelembung dan longgar, berasal
dari etnis Sulawesi Selatan ini, diketahui ternyata merupakan salah satu busana
tertua di dunia. Dalam Festival Busana Nusantara 2007 lalu di Kuta – Bali, perancang
busana kenamaan Oscar Lawalata menegaskan, “Baju bodo itu adalah salah satu
baju tertua di dunia dan dunia internasional belum mengetahuinya,”.
Baju Bodo atau yang dikenal dengan nama baju Tokko sudah dikenal masyarakat Sulawesi Selatan pada pertengahan abad IX, hal ini diperkuat dari sejarah kain Muslin, kain yang digunakan sebagai bahan dasar baju bodo itu sendiri.
Baju Bodo atau yang dikenal dengan nama baju Tokko sudah dikenal masyarakat Sulawesi Selatan pada pertengahan abad IX, hal ini diperkuat dari sejarah kain Muslin, kain yang digunakan sebagai bahan dasar baju bodo itu sendiri.
Kain Muslin adalah lembaran kain hasil tenunan dari pilinan kapas
yang dijalin dengan benang katun. Memiliki rongga dan kerapatan benang yang
renggang menjadikan kain Muslin sangat cocok untuk daerah tropis dan daerah
beriklim kering.
Kain Muslin (Eropa) atau Maisolos (Yunani Kuno), Masalia (India
Timur) dan Ruhm (Arab), tercatat pertama kali dibuat dan diperdagangkan di kota
Dhaka, Bangladesh, hal ini merujuk pada catatan seorang pedagang Arab bernama
Sulaiman pada Abad IX.
Sementara Marco Polo pada tahun 1298 Masehi dalam bukunya The
Travel of Marco Polo menggambarkan kain muslin itu dibuat di Mosul (Irak) dan
dijual oleh pedagang yang disebut “Musolini”. Uniknya, masyarakat Sulawesi
Selatan lebih dulu mengenal dan mengenakan jenis kain ini dibanding masyarakat
Eropa, yang baru mengenalnya para XVII dan baru popular di Prancis pada abad
XVIII.
Pada awal munculnya, baju tokko tidaklah lebih dari baju tipis dan
longgar sebagaimana karakter kain Muslin. Tampilannya masih transparan sehingga
masih menampakkan payudara, pusar dan lekuk tubuh pemakainya. Hal ini diperkuat
oleh James Brooke dalam bukunya Narrative of Events, sebagaimana dikutip
Christian Pelras dalam Manusia Bugis.
“Perempuan [Bugis] mengenakan pakaian sederhana, Sehelai sarung
[menutupi pinggang], hingga kaki dan baju tipis longgar dari kain muslin
(kasa), memperlihatkan payudara dan leluk-lekuk dada,” ungkap James Brooke dalam
bukunya.
Penggunaan kutang pada tahun 30-an belum popular di Tanah Bugis.
Sehingga tidak janggal jika pada saat itu masih banyak ditemui perempuan Bugis
menggunakan Baju Tokko tanpa memakai penutup dada.
Sejatinya, dalam adat Bugis, setiap warna baju Tokko yang dipakai
oleh perempuan Bugis menunjukkan usia serta martabat pemakainya. Kata “Tokko”,
diperkirakan menilik pada bentuk baju tersebut yang berbentuk baju kurung tanpa
jahitan, bagian bawah terbuka, bagian atas berlubang seukuran kepala tanpa kerah.
Bagian depan tidak memiliki kancing atau perekat lainnya, pada
ujung atas sebelah kiri dan kanan dibuat lubang selebar satu jengkal. Lubang
tersebut berfungsi sebagai lubang keluar masuknya lengan. Atas dasar inilah
maka baju ini kemudian disebut sebagai baju Pokko, baju yang tidak memiliki
lengan.
Pada perkembangan berikutnya kata pokko berubah menjadi tokko.
[KM02]
Baju Bodo atau yang dikenal dengan nama baju Tokko sudah dikenal masyarakat Sulawesi Selatan pada pertengahan abad IX, hal ini diperkuat dari sejarah kain Muslin, kain yang digunakan sebagai bahan dasar baju bodo itu sendiri.
Baju Bodo atau yang dikenal dengan nama baju Tokko sudah dikenal masyarakat Sulawesi Selatan pada pertengahan abad IX, hal ini diperkuat dari sejarah kain Muslin, kain yang digunakan sebagai bahan dasar baju bodo itu sendiri.
Waktu pemotretan: Awal Mei 2007
Baju Bodo, busana dengan
potongan simetris sederhana, dengan efek menggelembung dan longgar, berasal
dari etnis Sulawesi Selatan ini, diketahui ternyata merupakan salah satu busana
tertua di dunia. Dalam Festival Busana Nusantara 2007 lalu di Kuta – Bali, perancang
busana kenamaan Oscar Lawalata menegaskan, “Baju bodo itu adalah salah satu
baju tertua di dunia dan dunia internasional belum mengetahuinya,”.
Kain Muslin adalah lembaran kain hasil tenunan dari pilinan kapas
yang dijalin dengan benang katun. Memiliki rongga dan kerapatan benang yang
renggang menjadikan kain Muslin sangat cocok untuk daerah tropis dan daerah
beriklim kering.
Kain Muslin (Eropa) atau Maisolos (Yunani Kuno), Masalia (India
Timur) dan Ruhm (Arab), tercatat pertama kali dibuat dan diperdagangkan di kota
Dhaka, Bangladesh, hal ini merujuk pada catatan seorang pedagang Arab bernama
Sulaiman pada Abad IX.
Sementara Marco Polo pada tahun 1298 Masehi dalam bukunya The
Travel of Marco Polo menggambarkan kain muslin itu dibuat di Mosul (Irak) dan
dijual oleh pedagang yang disebut “Musolini”. Uniknya, masyarakat Sulawesi
Selatan lebih dulu mengenal dan mengenakan jenis kain ini dibanding masyarakat
Eropa, yang baru mengenalnya para XVII dan baru popular di Prancis pada abad
XVIII.
Pada awal munculnya, baju tokko tidaklah lebih dari baju tipis dan
longgar sebagaimana karakter kain Muslin. Tampilannya masih transparan sehingga
masih menampakkan payudara, pusar dan lekuk tubuh pemakainya. Hal ini diperkuat
oleh James Brooke dalam bukunya Narrative of Events, sebagaimana dikutip
Christian Pelras dalam Manusia Bugis.
“Perempuan [Bugis] mengenakan pakaian sederhana, Sehelai sarung
[menutupi pinggang], hingga kaki dan baju tipis longgar dari kain muslin
(kasa), memperlihatkan payudara dan leluk-lekuk dada,” ungkap James Brooke dalam
bukunya.
Penggunaan kutang pada tahun 30-an belum popular di Tanah Bugis.
Sehingga tidak janggal jika pada saat itu masih banyak ditemui perempuan Bugis
menggunakan Baju Tokko tanpa memakai penutup dada.
Sejatinya, dalam adat Bugis, setiap warna baju Tokko yang dipakai
oleh perempuan Bugis menunjukkan usia serta martabat pemakainya. Kata “Tokko”,
diperkirakan menilik pada bentuk baju tersebut yang berbentuk baju kurung tanpa
jahitan, bagian bawah terbuka, bagian atas berlubang seukuran kepala tanpa kerah.
Bagian depan tidak memiliki kancing atau perekat lainnya, pada
ujung atas sebelah kiri dan kanan dibuat lubang selebar satu jengkal. Lubang
tersebut berfungsi sebagai lubang keluar masuknya lengan. Atas dasar inilah
maka baju ini kemudian disebut sebagai baju Pokko, baju yang tidak memiliki
lengan.
Pada perkembangan berikutnya kata pokko berubah menjadi tokko.
[KM02]
0 komentar:
Posting Komentar