Imperialisme-Kapitalisme Neo
liberal dan Strategi Revolusioner Kaum Sosialis
Gerakan Anti Globalisasi
(gerakan Anti Globalisasi Kekuasaan Modal) saat ini mulai bangkit baik di
negeri-negeri imperialis maupun di negeri-negeri terbelakang, seiring dengan krisis
global sistem kapitalisme- merupakan momentum yang sangat tepat bagi kaum
sosialis revolusioner, untuk kembali membangkitkan perlawanan massa secara
masif, menaikkan kesadaran politik massa, memajukan propaganda anti tirani
modal, dan memajukan sosialisme sebagai solusi.
Strategi revolusioner dalam
situasi krisis sistem kapitalisme global saat ini dan kebangkitan perjuangan
melawan praktek-praktek neolib ada baiknya, penting kita sedikit melihat
perkembangan kapitalisme saat ini:
·
Krisis demi krisis
yang terus terjadi secara periodik dalam cara produksi kapitalisme adalah suatu
yang tak terelakkan pada cara produksi yang berdasar pada pelipatgandaan modal.
Over produksi, over modal, -yang aneh bagi zaman sebelumnya- menjadi ciri khas
dari cara produksi kapitalisme. Semuanya ini disebabkan berkembangnya
tenaga-tenaga produktif yang tidak mampu lagi hidup dalam syarat-syarat
masyarakat borjuis.[1] Dalam setiap krisis yang terjadi kita
saksikan jutaan rakyat pekerja dilemparkan ke jalan-jalan menjadi pengangguran,
naiknya harga-harga barang kebutuhan, turunnya standar-standar hidup manusia,
kelaparan dan kemiskinan yang terus menjadi-jadi hingga mengantarkan kematian
jutaan rakyat dan anak-anak di seluruh dunia. Suatu kekejaman yang sangat tidak
patut terjadi di masa peradaban manusia yang telah mencapai tingkat kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi seperti saat ini.
·
Sejumlah
perusahaan-perusahaan besar di negeri-negeri imperialis mulai melakukan
investasi dalam produksi manufaktur di negeri-negeri terbelakang.
Perusahaan-perusahaan TNC di negeri-negeri imperialis terus bergerak ke
negeri-negeri terbelakang. Sejak tahun 1960-an fenomena ini menjadi gambaran
umum bagi modal besar di semua negeri kapitalis maju yang dengan cepat
membentuk kerangka internasional untuk kompetisi modal. Tetapi kebutuhan akan
pasar ini, dirasakan dihambat dengan adanya sejumlah “proteksi” negara
(negara-negara terbelakang yang menjadi sasaran modal dari negeri-negeri
imperialis) dalam kegiatan ekonomi. Sejak tahun 1970-an, negeri-negeri
imperialis menyadari bahwa yang mereka butuhkan adalah adanya tatanan ekonomi
dunia yang lebih “bebas dari campur tangan negara”. Solusi ini kemudian menjadi
kesepakatan dalam pertemuan tahunan tujuh negara-negara imperialis utama (G7)
pada tahun 1976. Dimana isi kesepakatan ini berisi untuk mereorganisasi ekonomi
negara-negara Dunia Ketiga melalui
pembukaan pasar dunia yang ditujukan untuk adanya: pembukaan inventasi asing
(negeri-negeri imperialis) yang lebih besar, kemudahan masuknya barang-barang
impor dari negara-negara imperialis, privatisasi BUMN-BUMN, dan pemotongan
pos-pos anggaran negara yang “tidak produktif” (penghapusan berbagai macam
subsidi negara kepada rakyat).
Seluruh
kebijakan neoliberal yang dihasilkan dalam pertemuan G7 tahun 1976 kemudian
dipaksakan untuk diterapkan secara global ke seluruh negeri. Kekuatan untuk
memaksakan praktek kapitalisme neoliberal secara global terutama dilakukan
melalui dominasi dan kontrol mereka atas institusi-institusi keuangan (ekonomi)
dan perdagangan dunia semacam IMF, World Bank dan WTO. Misalnya, proporsi suara
di IMF didasarkan atas besarnya setoran saham mereka atas sumber keuangan. Pada
tahun 1990, 23 negara-negara imperialis memiliki 62,7% suara sebagai tandingan
35,2% suara yang dimiliki 123 anggota lainnya. Lima pimpinan Dewan Eksekutif
Permanen IMF dicalonkan oleh lima besar pemilik saham --AS, Inggris, Perancis,
Jerman dan Jepang. .
·
Dalam
kenyataannya, kebijakan neo-liberal yang dipraktekkan disejumlah negara telah
terbukti gagal menaikkan pertumbuhan ekonomi dan standar kehidupan masyarakat
di negeri-negeri tersebut. Resesi ekonomi dunia yang berkepanjangan sejak tahun
1970-an, krisis hutang negara-negara Asia di tahun 1980-an yang dilanjutkan
dengan krisis ekonomi di paruh kedua tahun 1990-an menjadi bukti kegagalan
resep-resep neo liberal dan memperdalam krisis dalam sistem kapitalisme global.
Oleh karena itu, kemudian dibutuhkan perjuangan ideologis
untuk mendukung praktek kebijakan kapitalisme neo-liberal tetap dijalankan.
Muncullah kemudian ideologi globalisasi, -sebagai alat pembenaran bagi
penerapan kapitalisme neo-liberal-, yang menggambarkan situasi ekonomi dunia
yang telah global, dimana tak ada satupun pemerintahan di suatu negeri atau
gerakan kaum buruh yang dapat melawan “tuntutan global” bagi penerapan
kapitalisme neo-liberal. Suatu gambaran yang jauh dari kenyataan sebenarnya. Fakta
bahwa fenomena globalisasi hanyalah merupakan senjata ideologis kapitalisme
neoliberal. Tidak ada loncatan yang signifikan dalam perkembangan kapitalisme
global. Pasar global telah muncul sejak awal abad 19. Komunikasi dan keuangan
memang telah menjadi global pada saat ini. Tetapi globalisasi dalam produksi
masihlah terbatas, walaupun kartel-kartel seperti TNC yang berusaha untuk dapat
menempatkan produksi dan kapitalnya pada negara-negara yang menguntungkan
memang menjadi fenomena saat ini. Tetapi salah bila kita menggeneralisasikan
semuanya telah menjadi global.
Dalam propaganda globalisasi, “tuntutan
global” bagi penerapan kapitalisme neo-liberal ditujukan untuk merangsang
berkembangnya kapital dalam suatu negeri dengan cara memotong berbagai macam
biaya sehingga tingkat keuntungan akan naik. Oleh karena itu pemerintah harus
menjalankan kebijakan upah rendah, pengurangan pajak-pajak, pembatasan gerakan
serikat buruh dan juga menghindari faktor-faktor yang menyebabkan larinya
modal. Perlawanan kaum buruh menjadi faktor menentukan dalam melawan kebijakan
neoliberal untuk dapat dijalankan. Dalam kasus Indonesia misalnya maraknya
gerakan buruh dalam beberapa tahun belakangan ini berhasil memaksa pemerintah
untuk tetap tidak memotong hak-hak yang telah diperoleh kaum buruh (seperti
kenaikan upah minimum), mengeluarkan kebijakan perburuhan yang sedikit lebih
menguntungkan kaum buruh. Tetapi tindakan ini ditentang oleh asosiasi-asosiasi
pengusaha bahkan mengancam akan melarikan modalnya ke negeri lain. Mereka
menyalahkan pemerintah yang tidak mampu meredam gejolak aksi buruh, tetap
menaikkan upah minimum, dan adanya peraturan tentang phk dan ganti rugi buruh
yang terphk yang dianggap merugikan pengusaha (kepmenakertrans no. 150). Dalam
kasus Kepmenakertrans no. 150, asosiasi-asosiasi pengusaha dan juga kabinet
(Megawati dan menteri perekonomian serta menteri perindustrian) mendesak
Menakertrans untuk mervisi peraturan ini. Akhirnya kepmen 150 diganti dengan
Kepmen no. 78 yang memotong hak-hak ganti rugi buruh yang terphk yang ada dalam
kepmen sebelumnya. Tindakan ini kemudian, menyulut aksi-aksi ribuan kaum buruh
yang terus marak hingga saat ini.
·
Krisis ekonomi
Asia merupakan kelanjutan dari over produksi kapitalisme global yang telah
berjalan di pertengahan tahun 1970-an. Krisis hutang Asia di tahun 1980-an, dan
krisis ekonomi yang manifest ditahun pada tahun 1997 dimana IMF berperan
sebagai “dokter” memberikan jalan keluarnya dengan resep-resep/reform
neoliberal. Bantuan mengatasi krisis dilakukan dengan sejumlah syarat
dijalankannya reformasi neoliberal. Bantuan yang diberikan IMF (yang ditujukan
agar krisis tidak bergerak lebih jauh ke negeri-negeri imperialis) terbukti
tidak berhasil mengatasi krisis. Imbas krisis, kini juga mulai menjalar ke
negeri-negeri imperialis (walaupun serangannya masihlah kecil tetapi mulai
dirasakan).
Sejak paruh
kedua tahun 1990 kita saksikan mulai maraknya perlawanan proletariat seiring
dengan menurunnya standar-standar hidup massa. Di Perancis, Jerman, Italia,
Yunani, Swedia dan Begia, ratusan ribu buruh melancarkan pemogokan menuntut hak
untuk mendapatkan pekerjaan, perbaikan dan kondisi kerja, melawan
privitasi-privatisasi dan phk serta mentang penghapusan berbagai macam pemotongan subsidi di tahun 1996. Di Canada,
pemogokan umum sekitar 1 juta buruh dan 300.000 demonstran di bulan Oktober
1996 menolak pemotongan subsidi pendidikan kesehatan dan kesejahteraan. Di
Afrika Selatan pemogokan dilakukan melawan kebijakan upah murah, kondisi kerja
yang buruk. Sementara di negeri-negeri dunia ketiga kita saksikan di Korea
Selatan lebih dari satu juta buruh melakukan pemogokan selama bulan
Desesmber-Januari 1996-1997 menentang kebijakan perburuhan yang menghapuskan
jaminan kerja, upah dan kondisi kerja. Di Argentina pemogokan umum dan
mobilisasi massa yang dimulai sejak pertengahan tahun 1996. Di negeri-negeri
miskin non industri di Meksiko dan Nikaragua, kita saksikan kaum buruh, petani
dan urban poor bergerak menentang
imperialisme. Perlawanan menentang kebijakan neoliberal terus marak. Di Turki
pada tanggal 24 Juli 1999 sekitar 250.000 buruh, pensiunan, pegawai negeri,
insinyur, dokter, pengacara turun ke jalan menolak rencana pemerintah melakukan
swastanisasi, memotong jaminan-jaminan sosial. Di Meksiko bertepatan dengan 1
mei 1999, sekitar 350.000 buruh listrik turun ke jalan menentang rencana
swastanisasi yang disyaratkan IMF dan menuntut kenaikan upah. Pemogokan
buruh-buruh transportasi di bulan Sepetember 2000 menolak kenaikan BBM juga
terjadi di negeri-negeri Eropa seperti Belgia, Inggris, Jerman, Irlandia,
Spanyol, Perancis, Swedia dan negeri-negeri lainnya.
Terakhir
Menjadi catatan penting saat ini
adalah bangkitnya perlawanan melawan
globalisasi kekuasaan modal yang terjadi di Seattle, yang kemudian terus
menjalar ke Praha, Melbourne dll. Dengan isu utama solidaritas terhadap dunia
ketiga dengan mengusung isu dari mulai pemutihan hutang dunia ketiga hingga
tuntutan dan seruan penolakan/pembubaran IMF, bank Dunia, WTO dan bursa-bursa
saham. Begitu pula gerakan perlawanan anti neoliberal yang terjadi di
negeri-negeri terbelakang, di Asia, Afrika, Amerika Latin dll. Dimana disamping
melawan praktek kebijakan neoliberal yang dijalankan oleh pemerintahan
kapitalis lokal, juga melakukan perlawanan terhadap agen-agen imperialisme
seperti IMF, Bank Dunia dan WTO.
0 komentar:
Posting Komentar